Hai.
Seharusnya saya berada di kampus saat ini. Tapi kenyataannya tidak. Saya masih duduk di depan laptop di kamar saya. Akhir-akhir ini saya terlalu mudah menangis. Puncak tangis saya pecah kemarin sore, di depan orang yang tak seharusnya saya menitikan air mata begitu hebatnya. Entah saya tidak tau apa yang terjadi pada diri saya. Mungkin begitu lemah sehingga saya tidak bisa mengkontrol lagi perihal air mata.
Sejujurnya, saya tidak pernah sama sekali menitikan air mata di depan orang yang notabene-nya tak pernah tau tentang saya sepenuhnya dan saya tak pernah tau tentang dia yang sesungguhnya. Tapi kali ini saya sudah tak tahan untuk tidak menangis. Semacam tamparan bagi saya tentang apa yang telah saya lakukan selama hampir 18 bulan ke belakang. Kalau saja saya bisa mengungkapkannya dengan jelas, saya ingin marah, saya ingin cerita dan pada ujungnya saya cuma bisa bilang saya kesal dan saya sedang tidak pada mood yang baik. Saya juga ga tau saya kesal sama siapa atau dengan apa. Saya berada pada titik buntu. Tidak bisa maju, tidak bisa mundur, tidak bisa ke kiri, tidak bisa ke kanan. Analoginya ketika saya berada pada suatu jalan panjang, saya bertemu rintangan besar seperti dinding, saya tak bisa kembali, saya harus melewati dinding tersebut berdasarkan apa saja yang telah saya lalui. Namun, saya masih saja berdiri di depan dinding tersebut, tidak bisa menyalahkan siapapun tentang mengapa harus ada dinding tersebut.
Saya sedang berada pada persimpangan. Seperti hilang arah. Semangat dan bersabar adalah dua kata yang paling sering beriringan denganku setiap harinya. Menuju dewasa mungkin kata itu lah yang harus selalu saya ingat. Tapi situasi saat ini, rasanya kedua kata itu tak cukup membuat saya untuk berpikir bagaimana seharusnya.
Entahlah.
Entahlah.
Saya benar-benar tak paham.
Saya benar-benar rapuh. Tapi saya benar-benar tau bahwa saya tak boleh begitu.
Semoga saya cepat pulih.
Semoga ada yang paham tak sekedar semangat dan sabar.
Semoga.